Thrifting, atau membeli baju bekas tentu saja bukan hal yang baru. Sejak tahun 2000 awal, atau bahkan sebelum itu, pasar thrift selalu punya penggemarnya.


Belakangan, thrift kembali tren lagi. Ada banyak alasan sih yang membuat orang-orang memilih pakaian thrift dibandingkan dengan pakaian baru. Umumnya, alasannya seputar harga yang lebih murah, model fashion yang unik, dan slow fashion.

Aku pribadi menganggap kalau thrift cukup menarik. Khususnya sejak tren thrifting menunjukkan pakaian-pakaian dengan model vintage. Model yang cukup sulit ditemukan di toko-toko baju populer.

Meski begitu, aku memilih untuk tidak belanja baju thrift dengan beberapa alasan.

(Disclaimer, ini adalah pandangan pribadi, jadi sangat mungkin ada perbedaan pendapat dan sudut pandang.) 


Baju Thrift Tidak Lebih Murah

Salah satu alasan utama aku tidak memilih baju thrift adalah alasan harga. Apalagi, sejak tren nya naik lagi beberapa tahun terakhir, banyak harga baju thrift yang hampir sama dengan harga baju baru. Belum lagi baju-baju branded yang dibanderol dengan harga yang lebih mahal dari baju lainnya.

Sayangnya, baju branded di thrift tidak selalu sungguhan branded. Banyak juga baju branded yang ternyata hanya tiruan atau KW. Kan rasanya rugi dua kali. Sudah mahal, KW pula. 

Hal ini tentu saja beda untuk orang yang sudah terbiasa dengan baju branded. Aku pribadi bukan orang yang bisa membedakan baju branded asli dan KW. Jadi, daripada resiko, aku memilih untuk tidak membelinya sama sekali.


Alasan Kebersihan (?) 

Sebenarnya ini bukan alasan utama sih. Hanya saja, selama hidup aku jarang sekali memakai baju hasil thrift. Mungkin hanya sekali, saat awal-awal kuliah dulu.

Karena penasaran dengan baju yang dijual di pasar akhir pekan dekat kampus, aku memutuskan untuk membeli satu baju di sana. Sebuah jaket jeans. Kalau tidak salah harganya Rp 20 ribu di tahun 2010-an.

Setelah sampai di kosan, aku menyadari kalau bajunya bau ikan asin. Wkwkwk

Menyesal? Tidak juga. Itu pengalaman yang unik buatku. Tapi kalau ditanya apakah mau thrift lagi, jawabannya tentu saja tidak. 

Baju-baju thrift tentu saja tidak bau ikan asin seperti yang kubeli 1 dekade lalu. Tapi kan aku tidak tahu siapa orang yang memakainya dulu. Dan rasanya terlalu merepotkan saja untuk mencuci dengan air panas dan segala proses sterilisasi setelah membeli baju thrift.


Foto: Recycle sisa kain jadi sarung bantal bagian dalam

Slow Fashion for Lyfe

Selain alasan harga, ada juga orang yang membeli baju thrift sebagai bentuk pelestarian alam. Slow fashion, katanya. Ini tujuan yang mulia sih. 

Tapi kupikir, ada cara lain juga untuk melestarikan alam dan menjalani gaya hidup slow fashion. Dengan tidak sering membeli pakaian, misalnya.

Membeli baju thrift satu kali, kemudian membelinya lagi di pekan atau bulan berikutnya, bukankah hampir sama saja dengan fast fashion? Apalagi kalau baju yang dibeli hanya dipakai beberapa kali, lalu sudah.

Membeli baju baru, kemudian memakainya berulang kali selama dua tahun atau lebih. Kupikir, itu juga bagian dari slow fashion. Apalagi kalau dipakai sampai pakaian tersebut rusak. Kemudian, setelah rusak, pakaian tersebut di-recycle untuk manfaat baru. Diubah menjadi sarung dalam bantal atau guling, keset, lap, atau kreasi lainnya juga tidak kalah bermanfaat. 

Memberi second life untuk pakaian kan tidak harus dalam bentuk thrift saja.


Barang Branded Murah dan Konsep Diri yang Rapuh

Ada banyak orang yang menganggap thrifting adalah solusi untuk mendapatkan barang branded dengan harga murah. Di satu sisi, ini terlihat menguntungkan. Tapi di sisi lain, hal ini justru... hm... sangat disayangkan (?) 

Mungkin tidak ada salahnya sih kalau kita masih muda. Mungkin masih usia sekolah atau kuliah. Karena pada usia tersebut, orang memang masih mencari pengalaman dan menempatkan konsep diri secara kelompok. Jadi, apa yang menurut kelompoknya keren, maka baginya juga keren. Mereka cenderung mendefinisikan diri sebagai bagian dari komunitasnya. Kalau komunitasnya memakai barang branded, maka dia harus menggunakan barang yang sejenis agar bisa masuk dalam komunitas tersebut.

Tapi kalau sampai usia tua masih seperti itu, bukannya berarti konsep diri yang dimiliki masih rapuh ya? 

Kalau lingkungan baru mau menerima kita jika kita menggunakan aksesoris dan fashion yang sama, bukannya lebih baik kita mencari lingkungan baru yang lebih apa adanya? Karena rasanya lelah kalau harus mengikuti orang lain terus, kan? 

Tentu saja hal ini tidak terbatas pada thrifting barang branded saja. Kepemilikan iPhone untuk tren dan penerimaan publik, atau hal lain yang serupa, juga sama. Untuk apa berlelah-lelah mencari penerimaan orang lain? Ada banyak hal yang harus dipikirkan setelah menapaki usia dewasa. Soal branded-tidak branded adalah hal kecil yang tidak seharusnya jadi persoalan.