Kalau boleh berharap, aku ingin kekasihku hanya tertidur panjang saja. Bukan meninggal untuk selamanya. Tapi kan tidak mungkin bisa.

Pagi ini, tiba-tiba saja dikabarkan kalau paman suami meninggal. Akhirnya aku ikut takziah sejenak. 

Terakhir kali aku melihat mayit mungkin sudah 2 dekade lalu. Saat adik laki-laki pertamaku meninggal. Itu pun tak sempat melihat langsung karena sudah dikafani.

Saat itu, aku mungkin tidak memahami konsep kematian dengan jelas. Yang aku tahu, aku kehilangan bagian dari keluarga. Dan sedihnya tidak terkira.

Tapi kali ini sedikit berbeda. Untuk pertama kalinya aku melihat wajah orang yang meninggal. Terlihat tidak ada bedanya dengan seseorang yang sedang tidur. 

Mungkin, kalau kita tidak tahu cara membedakan yang tidur dan meninggal, kita akan mengira kalau seseorang hanya tertidur lelap. Lalu membiarkannya berhari-hari terbaring di ranjang.


Semuanya Pasti Akan Pulang

Aku sadar sepenuhnya bahwa pada akhirnya, semua orang akan meninggal. Itu adalah salah satu takdir tidak terelakkan. Perjalanan akan berhenti, dan keabadian akan tiba.

Saat kecil, aku menangis meraung saat adikku meninggal. Aku lupa kenapa. Mungkin karena kematian adalah perpisahan yang jauh. Aku tidak bisa bermain lagi dengan adikku itu. Lalu aku bersedih.

Seingatku, sejak itu tidak ada perpisahan yang menyedihkan buatku. Tidak pergantian kelas, tidak juga saat seorang teman pindah sekolah, tidak kelulusan sekolah, bahkan tidak ada sedih juga saat teman kantor resign, atau seorang teman dekat pindah negara.

Jika kita cukup dekat dengan seseorang, perpisahan jarak adalah hal yang biasa saja. Kita akan menemukan cara untuk saling bercakap.


Sanggupkah Aku? 

Setelah menikah, perpisahan sederhana terasa berat sekali. Bahkan di hari paling damai sekali pun, aku bisa terpikir soal kehilangan kekasih. Dan rasanya tidak terbayang. 

Pantas saja sebagian orang menyebut kekasih dengan belahan jiwa. Karena saat terpisah, ada jiwa yang terasa terbelah. Apatah lagi terpisah dunia. 

Kalau aku ditinggalkan, apa aku sanggup merelakan? Rasanya masuk akal jika membiarkan jasad kekasih tertidur lama di ranjang yang sama meski tanpa nyawa. 

Rasanya masuk akal juga kalau sebagian orang ingin menghidupkan kembali yang telah berpulang. Bagaimana pun caranya.

Tapi jiwa, ada di dimensi yang berbeda dengan raga. Bahkan dengan seluruh teori yang mungkin, bahkan meski seluruh sel bekerja dengan baik dan sehat, kematian tetap akan tiba pada waktunya.


Bagaimana Kalau Aku Lebih Dulu? 

Dulu, aku bingung kenapa orang tua tidak suka mengingat umur. Sekarang, aku mengerti separuhnya. Menghitung umur sama halnya menghitung mundur usia. Dan kadang, cukup menakutkan juga.

Kematian adalah misteri kehidupan. Sesuatu yang gelap dan tanya tanpa jawaban pasti. Orang yang mati tidak kembali untuk bercerita. Kita tidak bisa belajar langsung dari yang mati.

Dan ketidaktahuan adalah hal yang menakutkan, tentu saja. Aku terlalu rapuh untuk ditinggalkan. Tapi juga terlalu pengecut untuk meninggalkan.

Apalagi, aku selalu merasa kalau aku tak pernah jadi orang yang cukup baik. Lalu, apakah setelah matiku, aku akan dimaafkan? Jika tidak, bagaimana aku menghadapinya nanti?


Cerita Tanpa Testimoni

Lagi, 

Kematian adalah cerita tanpa testimoni. Tak ada yang kembali dan menceritakannya. Yang satu terlalu sibuk menunggu, yang lain terlalu sibuk dihukum.

Mungkin, kematian adalah satu dari banyak persoalan hidup yang harus direlakan. Yang tidak perlu dipikirkan hingga larut. Semua akan punya waktunya. Untuk meninggalkan atau ditinggalkan.

Semoga saja, tidak dalam waktu dekat.