Beberapa hari lalu, salah satu film (entah film atau serial) Netflix berjudul First Love menjadi tren. Katanya bagus. Di rumah pun, lagu First Love - Utada Hikaru sempat terdengar. Sepertinya si suami menonton film itu juga.


Dari banyaknya lagu cinta, First Love adalah satu lagu yang kuhafal mati. Bukan hanya versi Jepangnya, tapi juga versi Bahasa Inggrisnya. Lagunya bagus, teduh, dan Utada Hikaru... salah satu penyanyi yang menemani masa remajaku.

Tapi bukan itu yang mau kuceritakan hari ini.


First Love, Mitos, dan Kutukan yang Menyertainya

Kata orang, cinta pertama adalah yang terbaik. Entah kenangannya, hubungannya, atau perasaannya. Aku sendiri tidak tahu apakah aku punya first love atau tidak. Tapi yang pasti, aku punya masa lalu dengan segala ceritanya.

Saat remaja, banyak orang yang bilang untuk tidak pacaran. Ya, aku tumbuh di lingkungan yang cukup agamis. Larangan untuk pacaran adalah hal yang biasa. Sangat biasa.

Salah satu katanya, sebab pacaran setelah menikah akan jauh lebih indah. Pacaran halal. Katanya. Menapaki keluguan pasangan bersama. Salah tingkah, bingung, malu, hingga akhirnya terbiasa.

Tapi setelah menikah, aku menyadari bahwa ada yang lebih berbahaya dari itu. Ada yang lebih penting dari sekedar lucu-lucu karena menyentuh lawan jenis pertama kali. 

Sebut saja: Spark.

Remaja muda yang baru pertama mengenal cinta, bingung dengan apa yang terjadi dalam dirinya, adalah pengalaman yang menyenangkan. Kupu-kupu di perut, adrenalin yang berkejaran, dan hal-hal gemas lainnya.

Saat pacaran, ada masanya semua kesenangan itu memudar. Hubungan menjadi biasa dan membosankan. Lalu pertengkaran kecil-kecil mulai bermunculan. Opsi putus terbuka lebar. Lalu bertemu orang baru, dan merasakan spark yang menyenangkan dari awal lagi.

Tapi menikah tidak sesederhana itu. Spark pernikahan paling hanya bertahan beberapa minggu. Sudah itu sudah. Cinta menyublim jadi bentuk lain. Bekerja mencari nafkah, menyiapkan sarapan dan makan malam, mengurus anak, dan lain sebagainya.

Dibandingkan pacaran, menikah adalah perjalanan hidup yang membosankan. Tidak ada lagi getar-getar mendebarkan atau kupu-kupu di perut. Biasa saja.

Bagi yang tak memahami dan berpikir pendek, mungkin akan tergoda dengan orang asing yang ditemui di luar rumah. Tapi tidak boleh begitu.


Kenangan yang Digubah Media

Kata orang, saat kita jatuh cinta, semua lagu cinta seperti dinyanyikan untuk kita. Semua lagu adalah theme song kisah kita.

Tapi uniknya, tidak berhenti sampai situ saja. Bahkan lagu paling tidak relate sekalipun akan terasa sangat relate. Kita menangis untuk patah hati yang tak pernah kita alami. Kita terluka atas pengkhianatan yang tak pernah kita dapatkan.

Kita menggubah cerita lewat lagu yang kita dengar.

Begitu juga dengan film First Love yang kubahas di awal tadi. Banyak yang merasa relate dengan kisah yang disajikan. Meskipun belum tentu kisahnya sama. Banyak yang kemudian memutar kembali memori masa lalu dengan mantan atau cinta pertamanya.

Tapi aku memilih untuk tidak. 

Menikah adalah soal hari ini dan masa depan. Mempertahankan cinta dalam pernikahan bukanlah hal yang mudah. Maka, aku menghindari semua kisah cinta yang membangkitkan memori atau merangsang otak menggubah cerita.

Sesederhana itu saja. 

Sebab hati manusia tidak ada yang tahu rapuhnya di mana. Maka menghindari jauh lebih baik dari pada memperbaiki.

Jika yang kucinta ada di depan mata, untuk apa mencari masalah dengan menggubah masa lalu yang belum tentu sungguhan terjadi, kan?