Hampir 10 hari uninstall Whatsapp tentu saja mengurangi paparan informasi banyak sekali. Apalagi, ada banyak pekerjaan yang harus dilakukan. Meski begitu, aku masih sesekali membuka sosial media. Sedikit lebih jarang sih, sepertinya.

Lalu, aku menyadari satu hal. Bahwa banyak sekali iklan yang berseliweran dimana-mana. Benar-benar dimana-mana.

A World Full of Ads

Sampai rasanya, hampir gak ada satu kegiatan yang tidak terpapar iklan. Tidak ada sosial media yang bebas dari iklan. Tidak di Instagram, tidak di Twitter, bahkan tidak juga di WhatsaApp.

Kanal hiburan seperti Youtube atau bahkan halaman website berita pun penuh dengan ads. Algoritma menjemukan yang membuat kita terpapar iklan yang itu lagi, itu lagi. Tentu saja, kecuali kita mau membayar layanan premium.

Lucu ya, bagaimana kita harus membayar untuk menghilangkan sesuatu yang sebelumnya tidak ada.

Terus, aku juga menyadari bahwa bentuk iklan saat ini telah berevolusi jauh sekali dibandingkan iklan satu atau dua dekade lalu.

Dulu, iklan hanya dilakukan oleh brand-brand ternama, di tempat yang sudah disediakan. Televisi, radio, banner, dan tempat-tempat semacan itu. Saat ini, hampir semua orang beriklan. Brand besar, brand kecil, influencer, bahkan orang pribadi. Entah itu menjual produk, menjual jasa, atau mempromosikan diri sendiri.

Apa tidak capek ya?

Hidup kita penuh dengan iklan dan gimmick. Membuat iklan, membuat gimmick, atau terpapar keduanya. Lelah sekali. Rasanya seperti tidak memiliki cukup waktu untuk mengistirahatkan otak.


We Have no Option

Sebenarnya, aku juga cukup memahami. Saat ini, hidup berjalan di era digital. Semua orang berusaha untuk mendapatkan secercah spotlight. Uang bertebaran dimana-mana. Semakin terang spotlight yang didapat, semakin besar juga kemungkinan aliran dana.

Kita berjuang untuk jadi yang paling terlihat, yang paling diingat. Dan itu bukan salah siapapun. Brand besar atau kecil memiliki kebutuhan untuk semakin berkembang. Ada hidup banyak orang di dalamnya.

Usaha kecil dan menengah juga membutuhkan pelanggan untuk sekedar menyalakan kompor di rumah. Atau mungkin untuk biaya anak sekolah, dan kebahagiaan kecil lainnya. Tanpa beriklan, siapa yang akan tahu kalau kita punya usaha. Siapa yang tahu kalau kita ada. Jadi, tidak apa-apa.


Offline Life Style

Hanya saja, aku merasa lelah sekali. Pikiranku tidak bisa berhenti. Memproses dan mempelajari gimmick atau iklan yang menarik. Merutuki gimmick jelek, less-emphaty, atau bahkan tidak penting yang sengaja dibuat untuk menarik perhatian.

Sengaja atau tidak, semua informasi itu masuk dan diproses oleh otak.

Sekilas, aku memang belum lepas sepenuhnya dari sosial media. Belum lepas sepenuhnya juga dari penggunaan WhatsApp. Tapi sepertinya, aku mulai mempertimbangkan untuk menjadikannya gaya hidup.

Berjalan sedikit-sedikit. Mengurangi intensitas perlahan-lahan. Sampai akhirnya tidak lagi memiliki kebutuhan untuk berada di sosial media. Mungkin akan jadi proses yang panjang. Tapi, tak ada salahnya mencoba.

Aku lelah.