Saat masih SD, mungkin sekitar kelas 4 atau kelas 6, ada sebuah rutinitas yang menurutku menyenangkan. Sebelum kelas pertama dimulai, guru kelas membagikan kami sebuah buku. Buku yang sama setiap hari. Kami menyebutnya buku jurnal.

Saat itu, aku masih belum tahu apa itu jurnal. Kupikir, jurnal adalah tulisan yang dibuat wartawan. Tapi, guru kami tidak menyuruh kami menulis tulisan yang berat seperti itu. Beliau hanya bilang untuk menulis apa yang terjadi sejak kami pulang sekolah kemarin hingga pagi ini sebelum sekolah dimulai.

Sejujurnya, aku bingung. Bukankah itu namanya catatan harian ya? Kenapa guruku menyebutnya sebagai jurnal?

Tapi aku tidak ambil pusing. Aku sudah cukup senang karena aku bisa menulis setiap hari. Dan bonus membaca respon kecil dari tulisan kami kemarin. Respon itu ditulis dengan pulpen warna merah, lengkap dengan smiley besar.

Di buku jurnal itu, aku menulis apa saja. Soal kakiku yang berdarah saat mandi, soal aku yang kelewatan sholat maghrib, soal sarapan yang tidak kumakan. Apa saja. Dan itu menyenangkan. Aku bisa menuliskan apa saja di sana. Dan tidak pernah kehabisan ide.

Dibandingkan dengan hari itu, hari-hari sekarang menulis tidak selalu mudah. Mungkin karena aku jarang menulis. Atau aku jadi punya standar tertentu untuk menulis. Harus rapi, harus punya hikmah, harus bisa dinikmati orang lain, dan lain sebagainya.

Keharusan-keharusan seperti itu bukannya malah jadi belenggu ya? Padahal tidak ada yang mengharuskan menulis harus seperti apa atau bagaimana. Menulis saja sebebasnya. Bahkan dulu aku bisa menuliskan kebingunganku untuk menulis.

Mengutip tulisan seseorang yang kutemukan di daftar bacaan, di postnya dia bilang:

"Menulis itu seperti otot, semakin diasah akan semakin terlatih."

Sepertinya aku memang harus berlatih menulis lebih sering lagi saja.