Sejak lama, kita familiar sekali dengan pepatah lama:

Kasih anak sepanjang jalan, kasih ibu sepanjang hayat.

Katanya, kasih anak memiliki batas, kasih ibu tidak terbatas. Apa iya?

Saat peribahasa itu lahir, mungkin jalanan belum seperti saat ini. Jalan tol belum dimana-mana, jalan raya belum menjalar kemana-mana. Setiap jalan setapak ada ujungnya. Setiap jalan raya apalagi.

Tapi hari ini, baik jalan maupun hayat, mungkin sama panjangnya. Baik anak maupun orang tua, sebenarnya punya kasih yang sama-sama tak berujung. Tanpa syarat. Tak terbatas. Bahkan dalam beberapa kasus, kasih anak jauh lebih besar dari kasih orang tua. Sebab semua anak pasti mencintai orang tuanya.

Anak Bukan Investasi

Dahulu (atau bahkan sampai sekarang). Banyak orang menganggap bahwa anak adalah investasi. Orang tua bersikap baik ke anak. Merawat, menjaga, mendidik, agar suatu hari anak akan melakukan hal yang sama. Anak disekolahkan, dikuliahkan, dan sebagainya. Agar suatu hari, anak bisa mendapatkan pekerjaan bagus dan membantu orang tua di masa tua.

Lalu, semakin ke sini semakin mikir kalau hubungan orang tua - anak bukan investasi. Mungkin ya, untuk investasi akhirat. Semua perbuatan baik orang tua akan dihitung pahala. Tapi untuk investasi dunia? Mungkin ini saatnya untuk memikirkan ulang beberapa hal.

Dalam lingkup investasi, biasanya ada kesabaran dan pengorbanan. Pengorbanan waktu, materi, dan tenaga. Tapi apa iya kita berkorban untuk anak kita? Apa iya saat kita memberikan banyak hal ke mereka, kita tidak mendapatkan apapun sebagai balasan? Sehingga kita harus bersabar dan menunggu mereka dewasa untuk membalas semua pengorbanan kita?

Sebenarnya tidak juga. Setiap cinta, sayang, dan perhatian yang kita berikan, bukankah anak membalasnya langsung tanpa menunda? Mereka memberikan tawa, ketenangan, rasa aman, perasaan dicintai, juga rasa hangat dan penuh di dalam dada. Bukankah itu juga timbal balik? Bukankah itu yang kita harapkan darinya? Lalu sejak kapan semua hal tersebut berubah jadi perkara balas budi?

Kita sayang anak kita, kita kasih banyak hal ke mereka, dan mereka membalasnya saat itu juga.

Anak Tidak Minta Dilahirkan

Dunia adalah tempat yang keras dan sulit. Tidak jarang memiliki banyak masalah. Anak tidak pernah minta dilahirkan ke dunia dan menghadapi semua masalah tersebut. Tapi kita yang di suatu titik kehidupan memutuskan untuk memiliki anak. Kita  berharap memiliki anak dan memutuskan untuk menghadirkannya ke dunia.

Meski begitu, anak tetap mencintai orang tuanya. Tanpa syarat. Sejak kecil, mereka hanya tahu bahwa orang tua adalah tempat aman baginya. Bahwa orang tua adalah sosok yang pasti dicintainya. Dia tidak pernah menyalahkan keinginan kita untuk membawanya ke dunia.

Saling Mencintai Tanpa Syarat

Orang tua selalu digambarkan sebagai sosok manusia yang mencintai anaknya tanpa syarat. Tapi bukankah anak pun juga sama? Anak selalu mencintai orang tuanya tanpa syarat. Seutuhnya. Bahkan tidak pernah menempatkan orang tua sebagai pihak yang salah. Tak peduli bagaimanapun sikap dan sifat orang tua.

Anak selalu menganggap bahwa orang tuanya benar. Bahwa hidup yang dia jalani memang sudah seharusnya begitu. Mereka kira, keluarga lain pun sama normalnya dengan keluarganya. Bahkan meskipun rumahnya dipenuhi teriakan dan sikap kasar. Mereka tetap cinta dan menganggap hal tersebut sebagai sesuatu yang normal dan seharusnya.

Hingga di satu fase dalam hidupnya, dia belajar banyak hal. Menyadari bahwa orang tuanya tidak selalu benar. Menyadari bahwa ada yang salah dalam hidupnya. Menyadari kekecewaan yang dia tabung sejak kecil. Tapi pada awalnya, anak tidak pernah menyalahkan orang tua.

Sama-Sama Belajar Menerima

Saat anak hadir, orang tua mengalami banyak perubahan dalam hidupnya. Perubahan fisik, tanggung jawab, pola hidup, prioritas, dan banyak hal lainnya. Tidak mudah. Orang tua berjuang. Kadang ada perasaan rindu dengan kehidupan sebelum jadi orang tua. Kadang ada kesedihan, baby blues, dan hal-hal berat lainnya.

Tapi pada akhirnya, orang tua memutuskan untuk menerima anak. Berdamai dengan banyak hal dan belajar mencintai anak seutuhnya.

Anak pun juga sama. Mereka selalu menganggap orang tua adalah cinta pertamanya. Sampai di satu titik saat ia menjadi dewasa, anak menyadari banyak hal. Menyadari bahwa orang tuanya tidak sempurna. Menyadari bahwa dia memiliki trauma masa kecil yang menetap. Menyadari bahwa ada luka-luka yang tak hilang.

Meski begitu, dia tak langsung menyalahkan orang tuanya. Pada awalnya, dia selalu mencari alasan lain penyebab lukanya. Bukan orang tua. Mungkin lingkungannya, mungkin dirinya. Tapi kesalahan orang tua ada pada daftar terakhir yang ingin diakui. Sebab cinta anak pada orang tua juga sebesar itu.

Pada akhirnya, mereka berusaha mengakui bahwa orang tuanya bisa salah. Mengakui bahwa dia memiliki luka masa kecil. Berusaha menerima kalau orang tuanya juga tidak sempurna. Seperti manusia pada umumnya. Dan dalam semua luka yang baru disadari itu, dia belajar memaafkan orang tuanya. Belajar menerima segalanya dan tetap mencintai orang tuanya.

Tidak hanya orang tua yang berjuang. Tidak hanya orang tua yang berkorban. Kita pernah menjadi anak, lalu menjadi orang tua. Tapi anak tidak pernah menjadi kita.