Kapan terakhir kali kita bicara pada diri sendiri?


Prompt keempat ini unik sekali: What is a Treasure That's Been Lost? 

Kemudian aku teringat dengan tren lato-lato yang belakangan marak. Bahkan saat tahun baru kemarin, hampir di setiap tempat yang kulewati terdengar suara tak-tok khas permainan ini.

Iya, aku baru menyadarinya ketika keluar kemarin. Karena (syukurnya) area rumahku bukan area yang sering dilewati anak-anak. Jadi, hampir tidak ada bunyi lato-lato di hari-hari biasa.


Lato-Lato dan Permainan Tatap Muka yang Kembali

Keberadaan lato-lato ini unik sekali. Di satu sisi, banyak orang merasa terganggu dengan suaranya. Tapi tidak bisa menafikkan kalau adanya permainan ini juga baik. 

Anak-anak kembali ke jalan. Kembali bermain tatap muka dengan anak lainnya. Permainan tradisional just like the old days. Bukan hanya berjongkok bersama sambil menunduk dalam melihat gawai.

Sejak kedatangannya, gawai memang membungkam suara perlahan-lahan. Kita jadi lebih senang berisik di dunia maya ketimbang bicara di dunia nyata. Lama kelamaan, dunia maya jadi terasa lebih nyata. 


Pikiran yang Carut dan Berisik

Sudah pernah puasa sosial media? Kalau belum, cobalah untuk melakukannya selama beberapa waktu. Mungkin sehari penuh, mungkin sepekan, mungkin satu bulan. Dan sadari betapa heningnya dunia.

Sosial media dan algoritmanya sering membawa kita pada isu-isu berisik. Korupsi, perselingkuhan, kekerasan, pejabat lagi, rumah tangga orang lain, dan seterusnya. 

Disadari atau tidak, manusia memang lebih suka berita buruk. Ditambah dengan kuasa algoritma. Sudah saja. Paparan berita buruk terus menggelinding sampai seperti bola salju. 


"Kenapa Tidak Ada Orang Baik?"

Satu hari, aku menemukan komen seperti ini di sosial media. "Kenapa tidak ada orang baik, ya?"

Sebenarnya jawabannya sederhana saja: Orang-orang baik sibuk bekerja di dunia nyata.

Kita mungkin sering berasumsi kalau sosial media adalah wujud nyata manusia di dunia nyata. Opini viral adalah opini publik. Padahal ya tidak selalu begitu. 

Ada banyak orang yang tidak memiliki sosial media. Ada juga yang punya, namun tidak bersuara. Orang-orang yang diam di sosial media mungkin lebih banyak dibandingkan yang bersuara.

Saat berita-berita viral yang tidak mengenakkan hati mencuat, sebenarnya jumlah orang baik tidak berkurang. Tapi kita lebih memilih menunduk ke layar dibandingkan melihat sekitar.


Lalu, Apa yang Hilang? 

Ada banyak hal yang hilang. Mungkin bukan hilang, tapi terbias. 

Suara-suara pribadi, kalah dengan opini mayoritas di dunia maya. Keberadaan orang baik juga seakan menipis, padahal ya tidak juga.

Pandangan kita hanya terbias. Mungkin karena kita juga belum benar-benar bijak bersosial media.