Duluuuu sekali sebelum menikah, aku pernah bertanya pada beberapa teman yang sudah menikah, "Kalo udah nikah, me-time-nya bagaimana?"


Dan jawabannya juga sederhana dan klise sekali. "Ya kalo udah nikah adanya We-Time atau quality time. Gak ada lagi istilah me-time kaya gitu."

Setelah menikah, aku menyadari bahwa setiap orang ternyata punya gaya pernikahannya masing-masing. Untukku dan suami, me-time bukanlah sesuatu yang bisa dihilangkan begitu saja. Kami saling mencintai, kami menikmati waktu yang dihabiskan bersama. Tapi juga tetap membutuhkan beberapa jenak me-time dengan diri sendiri.


Perasaan Bersalah untuk Bersenang-Senang Sendiri

Beberapa waktu yang lalu, suami mendapat pekerjaan di luar kota. Tidak begitu jauh, hanya Bandung. Karena tidak tahu akan menghabiskan waktu berapa lama, dia hanya memesan tiket berangkat saja.

Ternyata, pekerjaan selesai lebih cepat dari yang disangka. Alhasil, dia pulang di malam yang sama. Sayangnya, tiket kereta pulang sudah tidak bisa dibeli lagi. Mendengar itu, kupikir ya biar saja dia menginap satu malam di Bandung. Supaya tidak terlalu lelah. Supaya dia memiliki waktu sendirinya lagi.

Beberapa jam kemudian, aku menanyakan lagi tentang hotel tempatnya menginap. Dan ternyata dia sudah di Jakarta lagi. Pulang dengan travel, katanya.

Keesokan harinya, aku menanyakan keputusan tersebut. Mengapa pulang padahal bisa mengambil jeda sendiri untuk sejenak? Katanya, rasanya aneh menikmati waktu sendiri untuk liburan singkat, sementara aku sendiri saja di rumah.

Dia bilang, rasanya dilema. Antara ingin menikmati waktu sendiri dan merasa bertanggung jawab sebagai suami. Jadi, tidak pantas rasanya menikmati liburan singkat seorang diri.

Padahal, aku bilang tidak apa. Toh kami belum punya anak. Kupikir, waktu jeda untuk diri sendiri itu penting. Merasakan diri sendiri seperti sebelum menikah itu penting. Agar tidak jenuh, agar tetap bahagia.

Tapi kemudian dia bilang, selain karena alasan sebelumnya, dia juga ingat kalau punya janji untuk pergi dengan temannya Januari nanti. Tentu saja tanpa aku. Jadi, ya biar saat itu saja.


Me Time, We Time, dan Quality Time

Aku suka jeda-jeda saat aku punya waktu sendiri. Aku suka waktu-waktu yang kami habiskan untuk berjalan berdua. Aku suka saat kami membicarakan banyak hal kapan saja. Bertukar pikiran, bercanda, menertawakan lelucon yang mungkin hanya kami yang paham, dan lain-lain.

Aku suka saat dia mengizinkan aku merenung sejenak di cafe seorang diri. Mendapatkan ketenanganku seperti saat belum menikah dulu. Aku juga suka saat dia tidak bertanya "kapan pulang?" ketika aku bertemu teman atau adikku di luar rumah.

Aku juga suka saat dia mengajakku pergi dan membiarkan aku memilih destinasi wisata yang akan kami kunjungi. Aku suka saat kami mengobrol sambil berjalan. Meski kadang napasku berkejaran di dalam masker.

Karena itu, aku juga ingin dia merasakan hal yang sama. Menikmati waktunya di akhir pekan dengan temannya yang itu-itu saja. Membiarkan dia menghabiskan pagi berjalan sendiri sementara aku di rumah masih sibuk bermimpi. Tak apa dia menikmati waktu dan hobinya. Tak semua kegiatan kami harus bersama, kan?


Setiap Pasangan Punya Caranya

Kupikir, menikah tidak seharusnya menghilangkan diri sendiri. Tidak seharusnya menghilangkan kebutuhan akan diri sendiri. Apalagi kami introvert. Yang sesekali perlu waktu untuk berbincang sendiri agar tetap waras.

Meski aku sadar sepenuhnya, sebagiannya karena kami masih berdua. Tidak ada anak yang harus diurusi sepanjang waktu. Mungkin, kalau sudah ada anak, aku akan lebih berat membiarkan dia pergi sendiri. Mungkin, kalau sudah ada anak, akan lebih sensitif dan sedih saat ditinggal me-time oleh pasangan. 

Karena itu, sebelum adanya anak, kupikir tidak salah untuk menikmati hidup dengan cara kami. Sesekali bersama, sesekali sendiri. Biar kami tidak hilang cinta pada diri sendiri. Biar kami bisa berbagi cinta dengan lebih baik lagi.

Tapi pada akhirnya, ini berlaku untuk kami. Setiap pasangan punya cara dan gaya pernikahannya masing-masing. Tak harus sama.