Tepat sebelum menulis ini, aku menemukan sebuah tulisan di LinkedIn yang kurang lebih intinya begini: Bagaimana kalau kita dapat tawaran kerja yang bagus, tapi job title-nya turun?

Gambaran sederhana ini membawaku flashback ke beberapa tahun lalu. Saat masih tidak yakin dengan kemampuan yang aku punya, tapi yakin dengan satu hal: Aku mau nulis.

Keyakinan ini membawaku dua kali "turun kelas". Yang pertama, secara gaji. Yang kedua, secara status (mungkin ya).

Mengabaikan Gaji UMR untuk Hobi

Bisa dibilang, pekerjaan pertamaku adalah copy writer. Tanpa benar-benar tahu apa itu copy writer dan sebagainya.

Yang aku tahu, pekerjaanku menulis Annual Report atau Laporan Tahunan perusahaan. Itu saja.

Setelah berjalan 6 bulan, aku tahu kalau bukan ini "jenis tulisan" yang aku inginkan. Aku benar-benar tidak bisa membaca laporan keuangan, bingung membuat analisa, dan bahkan sempat muntah saat berusaha memahami hal tersebut. 

Tapi, kesulitan itu tidak berlangsung lama. Setelah mengerjakan beberapa laporan, melihat contoh, dan bertanya pada senior, akhirnya aku mulai memahami sedikit. Setidaknya cukup untuk menyelesaikan pekerjaanku saat itu.

Meski begitu, aku merasa 1 tahun bekerja sebagai copy writer annual report sudah cukup. Akhirnya, aku memutuskan untuk resign saja. Tanpa tabungan sama sekali.

Sisa gaji terakhir tersebut kuputuskan untuk membeli laptop. "Aku mau menulis artikel saja!" pikirku.

Syukurnya, di malam hari setelah aku resign, masuk email respon atas salah satu job freelance yang aku apply. Mulai saat itu, aku resmi jadi freelance content writer.


Iseng Apply Sebagai Karyawan Magang

Setelah satu tahun sebagai freelance content writer, aku mulai merasa bosan. Sebagai freelancer, aku hampir tidak pernah ke luar rumah.

Di samping itu, bayaran sebagai freelancer saat itu masih kecil sekali. Bahkan maksimal pendapatanku hanya satu juta Rupiah. Padahal jam tidurku berantakan ga karuan.

Akhirnya, aku memutuskan untuk mencari pekerjaan di kantor lagi. Salah satu pekerjaan yang iseng aku apply adalah sebagai karyawan magang di kantor kecil. Insentif yang diterima pun hanya transport saja. Karena iseng, ya sudah kucoba.

Setelah 3 bulan masa magang, aku naik menjadi karyawan tetap. Tapi siapa sangka kalau dari teman kantor di sinilah berbagai peluang berikutnya mulai terbuka.


Bukannya Tidak Peduli Gaji

Aku mungkin sebagian kecil orang yang cukup beruntung karena punya opsi memilih pekerjaan yang aku suka. Tanpa harus memikirkan tanggungan keluarga, rumah, atau tempat tinggal.

Meski begitu, bukan berarti aku memilih pekerjaan dengan asal atau karena iseng saja. Uang memang bukan pertimbangan bagiku di masa awal bekerja. Tapi kesempatan belajar, bisa jadi pertukaran yang cukup setimpal.

Namun, seiring pertambahan usia, faktor gaji juga mulai perlu diseriusi. Tidak harus wah sekali, yang penting sesuai dengan beban kerja yang diterima.

Sisanya, perkara titel rasanya masih belum jadi pertimbangan sampai saat ini, sih. Toh setiap perusahaan punya hirarki masing-masing. Bagiku, lebih penting kesempatan belajar dan besaran gaji dibandingkan dengan status atau posisi di perusahaan.

Tapi ya, setiap orang punya pertimbangan masing-masing kan?