Setelah banyak pertimbangan, akhirnya aku memutuskan untuk uninstall WhatsApp. Ini hari pertama Ramadhan juga. Jadi, kupikir ini waktu yang yah... lumayan tepat. Karena ada momen yang bisa jadi alasan, jadi gak banyak pertanyaan yang harus dijawab.

Aku sadar sepenuhnya sih, kalau uninstall WhatsApp ini adalah langkah yang ekstrem. Tapi worth to try. Meskipun bagi sebagian orang mungkin seperti keputusan yang gak bertanggung jawab. Aku juga masih ragu sih, apakah ini keputusan yang tepat atau nggak. Cuma ... kalau gak dicoba kan gak akan ada yang tahu juga jawabannya.


Kenapa Uninstall WhatsApp?

Sebenarnya, ada banyak sekali alasan yang bisa dibuat. Kalau aku pribadi, mungkin beberapa alasan ini cukup mewakili:

1. I'm Craving for Real Connection

Sejak pandemi, kadang-kadang ada perasaan kesepian yang muncul. Makanya sesekali aku juga ngontak orang lain, kadang chat, kadang telpon. Dan ya, apalagi kalau bukan lewat WhatsApp. Tapi ada beberapa kondisi dimana aku ngerasa kalau itu ga membantu. Ada rasa kesepian yang tetap muncul.

WhatsApp bikin aku merasa ada di tengah keramaian, tapi tetap kesepian. Perasaan yang sama setiap kali datang ke reuni, pesta, dan keramaian lainnya. Sayangnya, aku gak suka perasaan kaya gitu. Ga enak aja.

Jadi, aku mulai berpikir ulang tentang fungsi WhatsApp dalam hidup aku.

2. Status WhatsApp dan Kehidupan Orang Lain

Awalnya, WhatsApp memang menjadi solusi banyak permasalahan komunikasi. Khususnya dari segi biaya. Lalu muncul fitur status WA yang membuat aplikasi ini jadi sosial media biasa. Seperti Instagram dan Twitter.

Aku pikir, aku sudah cukup mengintip kehidupan orang lain. Terlalu banyak kehidupan orang lain yang aku tahu. Rasanya melelahkan. Dan seperti alasan sebelumnya, status ini memberi ilusi kedekatan semu, tapi kita gak benar-benar terkoneksi.

3. I'm Not Important

Diakui atau tidak, aku merasa keberadaanku tidak penting. Dari banyaknya kontak yang aku punya, ga setiap hari ada orang yang reach out ke aku. We don't really talk to each other. It always about assignment dan ratusan grup chat yang hampir gak pernah aku buka lagi.

Jadi kupikir, sebenarnya keberadaan aku di WhatsApp tidak sepenting itu. Gak terlalu masalah untuk tidak punya WhatsApp. Dan lagi, kalau seseorang benar-benar perlu aku, atau hubungan kita sedekat itu, selalu ada cara untuk komunikasi.

Mungkin aku cuma punya 2-3 orang yang akan reach out aku. Dan itu gak masalah.


Terus Gimana Caranya Komunikasi?

Ini sebenarnya kekhawatiran yang gak benar-benar perlu sih. Kalau boleh jujur, kita bahkan ga setiap bulan ngobrol kok. Jadi ya gak apa-apa. Lagipula, masih ada email atau gmail. Mungkin agak merepotkan, tapi ya sebenarnya hampir semua ponsel terhubung sama email, jadi ya ga apa.

Ya, pasti ada beberapa resiko setelahnya. Ini juga sedikit banyak sempat aku pikirin. Dan resiko terburuk adalah terlupakan.

Gak semua orang mau reach out via channel lain selain WhatsApp. Apalagi, aplikasi ini masih yang paling nyaman. Perlahan-lahan, aku akan hilang dari daftar kontak, dan orang akan berhenti untuk komunikasi sama aku.

Surprisingly, aku merasa ga masalah dengan itu. Karena sekarang aku ga sendirian lagi. I want to be in the moment. Menikmati waktu tanpa distraksi digital yang terlalu banyak. Sebenernya aku gak tau ini akan berjalan berapa lama. Tapi yaudah coba aja.


Gimana Sama Pekerjaan?

Syukurnya, sejak 2022 ini, sebagian besar pekerjaan sudah gak perlu WhatsApp. Aku tetap bisa melakukan pekerjaan dari platform lain dan ... ya memang ada nomor WhatsApp lain untuk pekerjaan. Tapi aku gak mau kasih itu ke orang lain. Karena nantinya aku cuma ganti nomer pribadi aja. Dan aku gak mau.

Masih ada hal lain seperti liqo dan segala tanggung jawabnya. Mungkin akan cukup merepotkan dan terkesan egois atau gak bertanggung jawab. Tapi akan selalu ada excuse kalau aku menempatkan orang lain lebih penting dari aku. Gitu aja.