Memasuki hari kedua, aku mulai menyesali keputusanku minta izin ke salah satu anggota grup. Sepertinya akan lebih mudah kalau aku hilang saja tanpa pemberitahuan. Sebenarnya, aku tidak ingin izin atas sesuatu yang seharusnya jadi urusan pribadi.
Kupikir, uninstall WhatsApp pribadi adalah salah satu urusan pribadi yang tidak perlu persetujuan orang lain. Jadi, rasanya tidak nyaman ketika orang lain memintaku untuk izin kepada pihak yang sebenarnya tidak signifikan.
Tadi pagi, ketika membuka WhatsApp web aku menemukan sedikit keributan. Wacana untuk pindah ke Telegram karena aku uninstall WhatsApp. Akhirnya, kusampaikan kalau aku masih bisa buka WA dari web.
Bukan Tentang Aplikasi, Tapi Interaksi
Sebenarnya, yang jadi masalah di sini bukan aplikasinya. Tapi interaksinya. Aku tidak tahu bagaimana cara menyampaikan hal ini ke grup yang didominasi orang yang lebih tua 1-2 dekade dariku. Aku ingin istirahat dari interaksi online. Ganti nomer WhatsApp atau pindah aplikasi ke Telegram sama sekali bukan jawaban.
Aku berharap, keputusanku menghapus WhatsApp dari ponsel membantuku menjarak dari banyak orang. Membuatku punya batasan interaksi dengan orang lain. Meminimalisir perubahan rencana yang mendadak. Dan membuatku punya kontrol lebih terhadap waktu, informasi, dan interaksi yang kudapatkan.
Tapi sepertinya hal ini tidak mudah dipahami oleh banyak orang.
Aku Ingin Mati, Tapi Tetap Hidup
Ini seakan-akan aku memutuskan untuk mati, tapi tidak benar-benar mati secara jiwa.
Aku ingin mencoba hidup di masa kini. Tanpa terganggu timeline orang lain yang bertabrakan. Ingin mencoba hidup di tempat ini. Tempat aku berdiri, sejauh aku bisa memandang. Tidak perlu terlalu luas. Aku ingin membatasi interaksi. Hanya tahu, hal yang benar-benar penting saja. Tidak perlu semua pembahasan, semua perubahan, semua keputusan.
Aku ingin merasakan sederhana. Hidup di bawah radar. Dan nyaris hilang.
Toh, kalau nanti aku punya anak, aku juga akan diharuskan berjarak dengan sosial media. Lalu, apa salahnya mengambil jarak lebih awal, kan?