Keinginan untuk uninstall WhatsApp sebenarnya sudah ada sejak lama sekali. Ada kalanya aku merasa bahwa keberadaanku sebenarnya tidak signifikan-signifikan amat. Sekedar ada. Sekedar formalitas. Begitu pula orang-orang. Sekedar memberi tanggung jawab karena khawatir kalau orang yang tidak dapat tanggung jawab akan tersisih.

Rasanya begitu.

Postingan kali ini lebih seperti perspektifku pada sesuatu yang sulit sekali ditinggalkan. Jadi, mungkin tidak akan relate dengan banyak orang. Tapi aku ingin menuliskannya.

Rutinitas Lama: Inginku atau Harapan Orang Lain?

Ada banyak hal baik di dunia ini. Dan ada banyak orang yang berharap pada hal baik. Termasuk harapan orang tua pada anaknya. Pada hidupku, harapan itu adalah liqo. Sejak SMP aku sudah terbiasa mengikuti rutinitas liqo pekanan.

Sampai di suatu titik, aku mulai merasa tidak ingin liqo lagi. Meski begitu, rasanya cukup aneh dan beresiko untuk meninggalkan kebiasaan yang sudah berlangsung selama 15 tahun lebih. Ditambah lagi, nilai di keluargaku menganggap bahwa kegiatan tersebut adalah sebuah kewajiban. Semakin sulit saja.

Rasanya seperti ingin bilang kalau aku putus sekolah. Takut membuat orang tua kecewa, atau bahkan marah. Aku tidak tahu mana yang lebih buruk.

Syukurnya, aku memiliki kesempatan untuk keluar sedikit dari ruang lingkup orang tuaku. Meski aku yakin tidak akan lama. Cepat atau lambat, kelompok baruku pasti akan tahu siapa orang tuaku. Akan lebih baik lagi, kalau ternyata tidak kenal sih. Meski kemungkinannya cukup kecil.

Di kelompok yang baru ini, aku memutuskan untuk jadi aku yang lebih apa adanya. Menyampaikan disclaimer bahwa aku tidak ingin apapun. Bahwa aku sedang mengevaluasi ulang tujuan liqoku. Apakah karena aku mau, atau sekedar meneruskan harapan orang tua. 

Mungkin, setelah aku menemukan motivasiku kembali, akan lebih jelas apa yang akan aku lakukan setelahnya.


Kenapa Tidak Berhenti Saja?

Aku pernah bertanya hal ini pada orang lain. Mempertanyakan kenapa orang lain bisa berhenti liqo dengan mudah, sementara aku seperti dipenuhi rasa bersalah. Dan ternyata jawabannya sederhana saja. Orang lain tidak hidup di keluarga dengan value seperti keluargaku. 

Ya, setiap keluarga memang punya value masing-masing kan. Dan kebetulan saja, keluargaku menempatkan liqo sebagai value. Sebagai anak tertua, hal tersebut jadi terasa seperti kewajiban yang sangat besar. Sama besarnya dengan menggunakan hijab. Mungkin.

Karena itu dibutuhkan keberanian besar untuk berhenti. Jangankan untuk berhenti, untuk bolos liqo saja rasanya sudah sangat bersalah.


Kegiatan Liqo dan Uninstall WhatsApp

Lalu, apa hubungannya antara liqo dan WhatsApp?

Liqo, bagiku bukan hanya datang sepekan sekali. Tapi juga segala kegiatan yang mengiringinya. Tanggung jawab organisasi, kegiatan ke masyarakat, mengadakan seminar ini itu, dan lain sebagainya. 

Berbagai kegiatan itu, sering kali membutuhkan koordinasi via WhatsApp. Ketika aku uninstall WhatsApp, rasanya seperti lari dari tanggung jawab. Padahal, keberadaanku di sana juga tidak terlalu penting atau signifikan.

Di satu titik, aku juga menyadari bahwa aku tidak suka tampil dan terlibat dalam banyak kegiatan. Aku senang duduk di belakang layar tanpa tanggung jawab terikat. Aku suka menyendiri dan tenggelam dalam pikiranku. Sedikit interaksi mungkin boleh juga, tapi aku tidak suka diandalkan untuk sesuatu yang (sering kali) bahkan sekedar basa basi.

Aku menemukan bahwa pikiranku tidak relevan dengan yang mereka harapkan. Bahwa aku dimanfaatkan karena aku masih muda dan gemar berselancar di sosial media. Bahwa ideku diminta karena aku paling muda, tapi sering kali tidak dipertimbangkan. Lebih menyebalkan lagi, bahkan kadang diolok karena terlalu "gaul".

Tindakan uninstall WhatsApp memberikan banyak manfaat dan keuntungan bagiku. Memberikan kebebasan dan membuatku merasa punya kuasa penuh akan diriku sendiri. Sekaligus memberikan batasan yang jelas antara aku dan orang lain.

Tapi di sisi lain, membuatku terlihat seperti orang yang lari dari tanggung jawab. Lebih dari itu, aku tidak suka ketika tindakanku dianggap sebagai bagian dari tanggung jawab orang tuaku. Sehingga, tindakan yang menimbulkan tanda tanya akan selalu dikonfirmasi pada orang tuaku. Yang pada akhirnya, aku harus menjelaskan banyak hal -- yang tentu saja terdengar tidak masuk akal bagi sebagian besar dari mereka. 

Aku lelah pada kondisi ketika segala hal yang aku lakukan selalu sampai pada orang tua. Bahkan meski hanya kesalahan kecil saja. Aku lelah pada kondisi ketika segala hal yang kulakukan, kukatakan, bahkan tuliskan bisa sampai ke orang tua. Bahwa ketika seseorang ingin sesuatu dariku, mereka minta izin pada orangtuaku, bukan padaku. Itu saja.


Syukurnya, sekarang aku punya kesempatan itu. Syukurnya, aku punya pasangan yang memberikanku keberanian bahwa tidak apa-apa melakukan apa yang ingin aku lakukan. Bahwa tidak apa-apa menolak sesuatu yang tidak mau kulakukan. Meski aku tahu kalau itu baik.

Aku ingin hilang.

Dan aku bersyukur, tampaknya dia paham definisi "hilang" yang kumaksud.