Sebenarnya, ada hal menarik yang ingin aku tulis. Dan karena rasanya akan lebih menarik kalau aku mencari referensi bacaan lain, akhirnya aku berselancar di internet. Sayangnya, aku tidak menemukan apa yang aku cari. Atau eksplorasi keyword yang kugunakan masih kurang tepat.


Meskipun begitu, aku malah menemukan sesuatu yang sepertinya tidak kalah menarik. Potongan dari sebuah buku berjudul "Revolution Towards Virtues: Being More Human"

Baris pertama pada paragraf ini rasanya cukup menarik perhatianku (dan pertanyaan terselubung yang diam-diam menyelinap sejak lama)


Kurang lebih begini isinya:

"Jika perceraian adalah sesuatu yang terlarang, sementara perempuan harus tunduk dan tidak dihargai, dan di lain sisi, laki-laki justru harus menjadi sosok yang kuat, tidak dapat memiliki emosi dan tidak mampu mengayomi anak-anak mereka. Tekanan seksual membuat laki-laki selingkuh dan perempuan harus menerima hal ini. Kondisi tersebut tentu saja menyakitkan bagi keduanya.

Saat ini, pasangan manapun bisa memiliki berbagai bentuk pengalaman seksual. Baik bersama maupun tidak. Jika sex menjadi landasan dan tidak lagi ada alasan untuk larangan, kita akan lebih bisa menghargai apa yang penting. Hubungan dengan orang lain dan arti hidup.

Penekanan seksual yang diajarkan agama menghadirkan kebutaan. Akhirnya, kita meletakkan kepuasan seksual pada benda dan orang-orang tertipu, membeli, menjual diri, dan dikontrol oleh energi yang tertahan.

Hari ini, kita bisa melakukan triads (pernikahan antara 3 orang) atau swinger, memiliki app kencan dan kebebasan. Artinya, kita telah berada di jalan yang benar. Menuju sebuah evolusi dan menghilangkan misteri yang membuat kita menderita."


Hal Menarik dalam Tulisan Tersebut

Ada beberapa poin utama yang aku rasa menarik dari potongan tulisan tersebut:

  1. Perceraian adalah sesuatu yang terlarang
  2. Ada konflik di antara pasangan yang membuat kehidupan pernikahan menjadi hambar
  3. Selingkuh adalah sesuatu yang tidak terhindarkan
  4. Selingkuh akan menyakiti kedua belah pihak
  5. Kebebasan seksual adalah kebebasan, sementara keterikatan seksual adalah penderitaan


Jika Perceraian Dilarang

Sebelum emosi lebih jauh, mari sejenak menenangkan pikiran. Sedikit melepas sepatu yang biasa kita pakai, dan menyimpannya tidak terlalu jauh. Iya, tidak perlu dibuang, sebab nanti kita akan tetap kembali memakai sepatu kita yang biasa. Jadi, disimpan saja sebentar.

Oke, kita mulai ya.

Pada dasarnya, segala hal yang menarik pada tulisan tersebut bermula dari poin nomor satu. Jika perceraian dilarang. 

Beberapa agama (dan budaya), menganggap perceraian sebagai sesuatu yang terlarang. Kita tahu hal tersebut. Sayangnya, tidak setiap perkawinan akan berlangsung bahagia. Sebagian pasangan terlalu dipenuhi gegap gempita cinta sampai tak sadar dengan Red Flag yang dimiliki calon pasangan sahnya.

Sebagian lagi terlalu hidup dalam harapan bahwa suatu hari pasangannya akan berubah. Bahwa pernikahan akan membuatnya berubah, bahwa hadirnya anak akan membuatnya berubah, dan seterusnya. Tapi harapan hanya harapan. Tidak ada yang berubah.


Akumulasi hal tersebut membuat kehidupan pernikahan menjadi hambar, dan salah satu pihak mulai menemukan kenikmatan di tempat lain. Atau memang sejak awal senang bermain api saja. Sementara pihak lain harus berusaha mempertahankan pernikahan. Sebab perceraian terlarang.

Kondisi ini membuat kesan bahwa pernikahan hanya akan membawa kesengsaraan. Sementara hubungan bebas menawarkan sesuatu yang lebih membahagiakan. Dan tidak ada ikatan. Jika suatu waktu ada hal yang tidak berjalan baik, hubungan bisa selesai tanpa harus bercerai. Sebab tidak ada ikatan pernikahan yang harus diselesaikan.

Lebih aman dan lebih tidak menyakitkan.


Tuntutan yang Berlebih Adalah Reaksi, Bukan Aksi

Dalam beberapa kasus, tuntutan yang keras tidak hadir dari antah berantah. Mereka muncul sebagai reaksi atas sesuatu yang mengikat terlalu erat. Atas sebuah aturan yang tidak memiliki jalan keluar. Atas sesuatu yang menyakiti tapi terasa tidak manusiawi.

Dalam hal ini, larangan atas perceraian mungkin adalah penyulutnya. Jika tidak ada cerai setelah menikah, dan ada resiko besar di dalamnya, maka tidak menikah adalah jalan keluarnya. Sederhana.


Luka Orang Lain bukan Luka Kita

Sesungguhnya, yang jadi menarik di sini adalah seberapa relevan hal tersebut di lingkup kita? Sebagai penganut muslim, sebut saja, seberapa relevan hal tersebut bagi lingkungan muslim?

Dalam pandangan sempit yang aku punya, sebenarnya tidak relevan. Islam punya istilah perceraian. Bahkan bisa dibilang sangat mudah jika tidak berhati-hati. 

Seorang laki-laki yang secara serius atau bercanda mengucapkan talak, maka talaknya dianggap serius. Tiga kali mengucapkan, maka jatuh talak tiga, dan tidak ada jalan kembali kecuali keduanya sudah pernah menikah lagi. Sangat mudah.


Seorang perempuan juga bisa meminta cerai dengan banyak alasan. Apalagi jika pasangan melakukan kekerasan atau bentuk kezhaliman lainnya.

Islam memiliki perceraian, mengizinkan perceraian. Jika agama lain tidak memilikinya, itu adalah urusan mereka. Luka mereka. Seharusnya, luka orang lain tidak perlu kita internalisasi menjadi luka kita.

Bukan berarti ketakutan atas pernikahanmu tidak nyata. Bukan juga stigma tabu akan perceraian tidak ada. Itu adalah hal yang lain. Tapi yang pasti, seseorang tidak berdosa karena bercerai.


Terakhir, silakan pakai sepatumu lagi. Apapun yang kamu pikirkan sebelum membaca ini, aku tidak berniat mengubahnya. Seperti yang kutulis, ini hanya sebuah pandangan. Kudapan pikiran di sela jeda. Selamat menjalani hidup dengan sepatumu lagi.