Setiap keluarga pasti memiliki hal-hal yang lupa diajarkan orang tua. Entah karena memang lupa, karena mengira akan paham sendiri, atau ya karena beda sudut pandang saja.

Bagiku, hal tersebut adalah soal keuangan.

Jika bicara soal keuangan, orang tuaku selalu bicara soal spending. Tentang bagaimana uang digunakan. Tapi jarang tentang bagaimana uang dihasilkan. 


Sebuah Nasehat

Sejak kecil, aku dan adikku hafal mati sebuah nasehat : "Ada cara ada, ga ada cara ga ada"

It was a good advice, though. Nasehat ini menjaga kami untuk dapat menerima apapun kondisi yang kami alami. Sebab hidup memang naik turun kan?

Nasehat ini pada dasarnya membuat kami lebih mampu mensyukuri rezeki yang ada. Saat hal baik datang dan kondisi keuangan membaik, kami bisa menikmati hal tersebut.

Tapi saat kondisi sedang sulit, kami menyesuaikan diri dan tidak bersedih. Begitu saja.

Sebagai perempuan, mungkin aku dididik untuk jadi "perempuan idaman banget". Yang ga rese makan di warteg, tapi ga malu-maluin diajak dinner.

Well, tetep aja sih ga ada yang mau, kala itu.

Satu contoh sederhana adalah soal liburan keluarga. Saat kondisi finansial sedang baik, biasanya kami akan pergi Piknik tanpa membawa bekal. Ya makan di luar saja.

Tapi ketika finansial sedang agak ketat, kami tetap liburan. Ke tempat yang kalau bisa tidak ada tiket masuk, dan tentu saja membawa bekal. 

Sekedar catatan, aku 8 bersaudara. Jadi yah, cukup boros memang kalau tidak bawa bekal.

Soal Mencatat Arus Kas

Sudut pandang finansial ternyata hal yang diwariskan. (Meski bisa dipelajari).

Kedua orang tuaku datang dari kalangan menengah ke bawah. Dengan pola spending yang cukup tinggi, sementara penghasilan tidak pasti.

Ayahku senang mencatat cashflow, sementara ibuku menganggap hal tersebut sia-sia. Beliau menganggap bahwa waktu mencatat cashflow bisa digunakan untuk hal lain yang lebih bermanfaat.

Jadi, meski kadang beliau bisa mendapat 1-2 juta dalam satu hari, beliau tidak tahu berapa pemasukan bulanan yang dia hasilkan.

Atau beban finansial 8 orang anak membuatnya lebih memilih untuk tidak mencatat. Aku tidak tahu.

Soal Cara Menggunakan Uang

Hal terakhir soal ini adalah tentang cara menggunakan uang.

Sepanjang yang aku tahu, spending terbesar kami ada di makanan, pendidikan, dan... (sepertinya) buku. Tentu saja ini hal yang baik. Apalagi pendidikan dan buku adalah investasi besar masa depan.

Berhubung aku tahu biaya dan pajak pembuatan buku, aku tidak akan membahas ini. Begitu juga pendidikan.

Tapi ada yang menarik perkara makanan. Saat aku kecil, aku ingat kalau sesekali ibu dan ayahku memasak. Entah itu lauk atau camilan seperti kue-kue.

Saat aku kecil, ibuku adalah guru SDIT yang cukup bonafid. Aku juga bersekolah di sana. Makan siang sudah menjadi fasilitas untuk guru dan murid sampai aku duduk di kelas 4.

Sekolah tersebut adalah sekolah Full Day, dan keluargaku tidak terbiasa makan berat di pagi hari. Jadi ya, kami hanya makan malam saja di rumah. Sekitar SMP, aku punya pembantu yang juga menyiapkan makan.

Saat aku SMA atau kuliah, di rumah sudah tidak ada pembantu. Lalu aku menyadari kalau di rumah jarang ada makanan jadi. Setiap kali makan, biasanya kami beli dari warteg atau warung tetangga.

Orang tuaku bilang, masak itu boros. Apalagi jika dikonversi dengan waktu, tenaga, gas, air, dll yang digunakan untuk memasak. Jauh lebih hemat beli saja. Aku percaya.

Selama kerja, aku terbiasa makan siang dan makan malam di luar. Pulang dengan perut kenyang, daripada menduga-duga apakah ada makanan atau tidak. Jadi, makan di luar adalah hal yang sangat biasa bagiku.

Sudut Pandang Tabungan dan Investasi 

Keluargaku adalah tipe yang tidak percaya asuransi. Juga menganggap bahwa apa yang kita berikan adalah yang benar-benar kita miliki. 

Mereka beranggapan bahwa investasi sejati adalah investasi akhirat. Karena itu, berinfaq dan sodaqoh jauh lebih penting dari memiliki tabungan dan real investasi.

Sampai saat ini, aku tidak tahu apakah orang tuaku punya dana darurat atau tidak. Tapi belakangan aku tahu, kalau ayahku diam-diam membeli tanah di beberapa lokasi. Tanpa ibuku tahu.

Tapi yang pasti, kami jarang diajari hal tersebut. Jadi, sejak sekolah sampai kuliah, sebagian uang jajanku biasa kugunakan untuk orang lain juga. 

Aku baru menyadari pentingnya tabungan dan dana darurat sekitar 2 Tahun setelah bekerja. Itupun karena aku banyak menulis artikel finansial saat freelance.


Pola Spending dan Penghematan Pasangan

Setelah menikah, aku cukup kaget dengan kemampuan suamiku mengelola keuangan. Aku juga baru menyadari bahwa uang adalah konversi dari waktu.

Jika kita ingin memiliki lebih banyak tabungan, maka ada waktu yang perlu kita konversi untuk itu. Bangun lebih pagi misalnya. Lalu naik transportasi massal alih-alih naik kendaraan pribadi atau ojeg online.

Saat aku masih bekerja, ongkos transportasiku tanpa motor ada di kisaran 15.000-50.000 sehari. Sementara suamiku ada di kisaran 7.000 sehari tanpa telat.

Karena dia bangun lebih pagi, jalan kaki beberapa ratus meter, naik angkot gratis, lalu lanjut busway ke kantor. Begitu juga saat pulang. Padahal kalau mau, dia masih punya cukup uang untuk naik ojeg online ke manapun.

Soal makan pun sama. Makan siangku ada di kisaran 20.000-35.000, belum termasuk makan malam. Sementara dia di kisaran 0-15.000, lalu makan malam di rumah.

Di samping itu, dengan penghasilan yang cukup oke, dia tetap memiliki side hustle. Dan dia cukup serius dengan hal tersebut.

Sebagai hasilnya, aku tidak memiliki tabungan, sementara dia memiliki cukup tabungan untuk dana darurat dan lainnya.


But it was the old Day. Saat ini, aku lebih bisa menabung meski masih impulsif. Aku harap, adik-adikku paham soal ini lebih cepat dan mulai menabung lebih cepat juga.

Sebab sejauh yang aku tahu, belum ada dari mereka yang memiliki tabungan.

Aku baru menyadari kalau nilai aset yang kita miliki sebanding dengan penghematan yang kita lakukan.

Orang jadi kaya bukan karena mereka terlahir kaya saja, sebagian lagi karena memiliki pola konsumsi yang hemat juga.