Tiba-tiba saja terpikirkan soal sosial media (lagi). Kalau dilihat-lihat, beberapa waktu terakhir, rasanya aku jadi sering menulis soal sosial media ya. Yah, mungkin beberapa hal memang tidak bisa begitu saja dihapuskan dari pikiran. Atau dalam beberapa fase, kekhawatiran kita memang berubah. Tidak bisa dihindari juga kan?

So, bare with me, dan semoga ada suatu manfaat yang bisa diambil ya.

Aku pikir, seharusnya sosial media adalah sarana untuk bersosialisasi kan? Sebagaimana namanya. Media untuk kita saling terhubung, saling bersosialisasi. Tapi kadang, sosial media malah memberikan perasaan hampa tersendiri. Semakin lama berselancar di sosial media, justru rasanya semakin hampa. Apa kita kehilangan sesuatu?

Then I started to think that social media is a huge high end mall. Mungkin kaya Grand Indonesia, or much bigger than that. Saking besarnya, semuanya ada di sana. Apapun yang kita tahu, apapun yang kita pernah atau bahkan belum pernah lihat. Mungkin Prada, Victoria Secret, HnM, Starbucks, Stradivarius, atau apa sajalah. Semua ada di sana.

Sebagiannya mungkin kita mampu beli. Mampu coba, mampu cicip. Mungkin kita mampu beli salah satu menu di Starbucks, tapi mungkin juga ada yang terasa cukup mahal. Mungkin juga kita bisa beli satu dua baju di Zara. Tapi baju yang paling kita suka ternyata harganya ga affordable buat kita. Jadi yaudah, kita cuma bisa liat aja.

Dan di setiap tenant itu biasanya ada yang ditampilkan. Kalau dia jual baju, ya ada manekin bagus yang mahal dengan baju yang hari itu atau bulan itu lagi jadi highlight penjualan. Kalau dia jual makanan, mungkin ada model makanannya atau beberapa makanan yang dijadiin display. Dan tentu saja menggugah selera. Kalau dia jual bunga atau pernak pernik, storenya pasti menarik. Pokoknya, yang terlihat pasti yang terbaik.

Aku pikir, sosial media juga sama. Setiap akun di sana yang kaya tenant-tenant yang ada di mall besar. Everyone selling theirself. Showing the most attractive side of their life. Karena ... ya masa kita nunjukin sisi buruk diri sendiri?

Some of them mungkin nunjukin liburannya, nunjukin makanan yang dia buat, nunjukin keluarganya yang harmonis, anaknya yang manis, pasangannya yang romantis. Tapi ya hidup ga secemerlang itu. Orang yang jalan-jalan juga ada kalanya rebahan, atau melakukan pekerjaan membosankan supaya bisa punya uang untuk hobinya. Keluarga yang harmonis sekalipun ada kalanya berantem, entah karena handuk basah atau anak yang tantrum karena ngantuk dan pup sembarangan. 

Itu kan normal. Ya hidup normal kaya gitu. Biasa aja. Gitu-gitu aja. Lebih sering membosankan dan ga instagrammable. Dan itu bukan masalah kan?

Tapi kita seringkali nyangka kalau yang kita lihat ya itu kenyataannya. Saat kita ke mall, kita kira baju yang dipakai manekin bakal bagus juga di kita. Padahal mungkin lingkar pinggang kita beda 10 cm dari lingkar pinggang manekin. Kita kira, lemari yang keliatan bagus di display interior di IKEA bakal sama bagusnya kaya di rumah. Padahal rumah kita bukan IKEA. Dan mungkin lemarin itu udah ngabisin seperempat bagian rumah.

Sama kaya sosial media. Kita kira pasangan lovey dovey ya akan terus begitu ga pernah berantem. Anak yang lucu ga akan tantrum atau pup. Selebgram yang keliatan cantik di kamera ga pernah kumel. Selebgram yang jalan-jalan mulu ga pernah kehabisan uang. Atau selebgram yang hobi mukbang bakal tetep kurus meski ga olahraga. Padahal kan nggak. 

Tapi kita ga sadar atau mungkin ga peduli. They Have it, I want it, I get it. Aku ga bilang kalau sosial media ga baik. Tapi ya, kita harus punya filter. Ga semua yang keliatan cantik, akan cocok di kita. 

Tapi, di awal sekali, aku kira, Semakin banyak kita melihat, semakin banyak yang kita mau, semakin kita merasa kurang.

Hidup juga begitu.

Sosial media tuh kaya ngintip hidup orang lain. Semakin banyak hidup yang kita intip, semakin kita merasa hidup kita biasa aja. Semakin kita merasa kalo banyak hal yang kita ga punya. Karena tanpa sadar kita terus membandingkan diri.

Padahal gapapa jadi biasa. Padahal hidup emang lebih sering gini-gini aja. Semua juga gitu.

Kita follow 100 orang. Ngeliat posting mereka setiap hari. Kesannya kaya orang-orang hidupnya seru banget. Padahal ya sama aja. Mereka juga ga tiap waktu hidupnya seru.

Terus aku mikir, dulu, sebelum ada sosmed, kita paling bandingin hidup sama tetangga atau circle lokal. Mereka punya kulkas, TV flat, jadi pengen. Tapi ya sebatas itu. Sekarang kita bandingin diri sama selebgram, sama orang yang bahkan tahu kita ada aja nggak. Buat apa? Kita bandingin rumah kita sama rumah sisca Kohl. Ya gimana ya.

Udah cuma mau share gitu aja. Dan mungkin, reminder juga.

Kalau sosial media malah bikin ngerasa kosong. Berhenti sejenak. Mungkin kita perlu sosial langsung. Make a Phone Call, tanya kabar temen yang namanya pop up di kepala. Mungkin mereka kangen real talk juga.