Selama sakit, saya melihat bagaimana suami mengurus banyak hal. Pekerjaan utama, pekerjaan sampingan, pekerjaan rumah, dan saya.

Saya menyadari bahwa yang dia tanggung ternyata banyak sekali. He is so strong untuk menanggung semua hal itu.

Di akhir hari, saya melihatnya lelah sekali. Tapi dia tetap tidak marah sama saya. Malah meminta baik-baik supaya saya diam, istirahat bersamanya. Tapi saya belum mengantuk. Jadi, saya inisiatif untuk memijit kakinya.

Saya tidak pernah memijit orang lain sebelumnya. Saya tidak suka menyentuh minyak dengan tangan saya. Dan kata orang, tangan saya yang kerap basah dan tidak bertenaga membuat pijitan saya tidak berasa.

Tapi malam itu, dia menikmati pijitan saya di kakinya. Memuji dan berterima kasih untuk setiap pijitan yang saya berikan. Saya senang. Saya bersyukur karena laki-laki ini menjadi suami saya.

Dua pekan dengan kaki yang tak bisa berjalan dan suami yang lelah sendirian ternyata membuat saya sedih juga. Jadi, saat saya bisa melakukan sesuatu untuk meringankannya, saya senang. Dan semakin senang karena dia menghargai hal kecil tersebut.

Sejujurnya, saya tidak terlalu suka Membereskan rumah. Tapi siapa sangka kalau dua pekan di atas kasur bisa membuat Saya merindukan dapur. Entah seperti apa bentuknya sekarang. 

Saya membayangkan diri saya merapikan dapur dan membuatnya nyaman. Lalu merapikan bagian-bagian rumah lainnya agar lebih enak dipandang. Agar lebih nyaman bagi saya dan pasangan.

Saya menyadari bahwa menjadi suami dan mencari nafkah bukan hal yang mudah jika serius. Dan itu yang saya lihat dari suami saya. Dia bukan hanya memikirkan bagaimana kami bisa makan, tapi juga hal-hal lain yang bisa membuat saya sehat dan bahagia. Sekarang dan juga ke depannya.

Saya pikir, melakukan pekerjaan rumah adalah bantuan kecil yang bisa saya lakukan. Membuatnya nyaman di rumah, sehingga dia bisa fokus mencari cara untuk menafkahi keluarga kecil kami.

Lalu, saya menyadari bahwa ada yang salah dari cara saya memandang pekerjaan rumah selama ini.


Saya selalu berpikir bahwa pekerjaan rumah adalah membuat rumah menjadi rapi dalam satu hari. Merapikan segalanya dalam satu hari. Dan karena saya tidak sanggup, maka saya tidak mampu. Jadi saya tidak mau.

Saya baru menyadari bahwa merapikan rumah adalah sebuah proses bertahap. Membagi area rumah menjadi bagian-bagian kecil dan lebih kecil. Lalu merapikannya secara bertahap. Tidak dalam satu hari.

Mungkin hari ini saya merapikan meja rias, besoknya lemari, kemudian dapur, selanjutnya kamar mandi, dan seterusnya. Mungkin butuh waktu satu dua minggu untuk kembali ke rotasi awal. Mungkin lebih. Tapi tidak harus langsung selesai.

Dengan cara pandang ini, rasanya saya mampu merapikan rumah sedikit demi sedikit.

Saat saya bicara begitu ke pasangan, dia bilang kalau semua orang memang melakukannya seperti itu. Dan saya baru memahami hal ini di usia 29!

Tapi yasudah tidak apa. Selalu ada awal untuk sesuatu kan?