Ada banyak pembiasaan-pembiasaan yang harus dikompromikan setelah menikah. Bagiku, hal tersebut termasuk kendaraan yang digunakan.

Sejak pertama kali dibelikan motor oleh orang tua, praktis aku hampir tidak pernah menggunakan transportasi umum kecuali kereta. Bahkan saat skripsi, aku lebih rela naik motor Jakarta - Bogor daripada naik kereta dan lanjut angkot sampai daerah kampus.

Bagiku, naik kendaraan umum dan berjalan kaki berkilo-kilo meter adalah ujian tersendiri. Menunggu kendaraan umum adalah waktu yang terbuang begitu saja. Dan jalan kaki, rasanya lelah luar biasa.

Sebelum menikah, aku sempat takjub karena suamiku tipe yang sering menggunakan kendaraan umum. Bahkan, dia tidak bisa mengendarai motor. Sesuatu yang ajaib menurutku. Kukira, mengendarai motor adalah basic skill semua orang. Tapi ternyata tidak juga.

Ada dua pertanyaan yang akhirnya kutanyakan padanya:

1. Kenapa tidak tergoda untuk belajar motor?

2. Bagaimana mobilitas harian, memang tidak mengganggu?

Untuk pertanyaan pertama, dia bilang, transportasi umum yang ada di Jakarta lebih dari cukup untuk mengakomodir kebutuhan mobilitasnya. Lagipula, pekerjaan yang digelutinya sering membuat dia berada di luar kota selama berminggu-minggu. Memiliki kendaraan pribadi terasa agak tidak berguna. Karena toh akan jarang dipakai, kan.

Pertanyaan yang kedua dia jawab dengan santai, "Ya kan tinggal bangun lebih pagi saja. Jangan mepet makanya kalo apa-apa tuh!" Tentu saja sambil menyindirku halus.

Omong-omong, saat kami baru nikah dulu, kami pernah ketinggalan kereta karena aku terlambat bangun dan kelewat santai. Alhasil, kami ketinggalan kereta dan dia terpaksa harus membeli tiket baru. Untung saja, saat itu tujuannya hanya ke Bandung.

Di perjalanan berikutnya menuju Medan, aku diperingatkan sejak malam. Tentu saja karena tiket pesawat last minute akan mahal sekali. 

Balik lagi ke persoalan kendaraan, setelah menikah aku hampir tidak pernah mengendarai motor lagi. Selain karena tidak ada alasan untuk keluar rumah, motorku saat kuliah sudah dimodifikasi habis oleh adikku. Lagipula, naik kendaraan umum ternyata tidak seburuk itu juga. Ada lebih banyak waktu untuk bersantai. Ada beberapa kesempatan untuk bergerak lebih banyak, dan sebagainya.

Jadi, entah apakah aku akan mengendarai motor lagi atau tidak. Tapi kupikir, mari nikmati saat-saat sekarang dengan bahagia.