Sepanjang hidup, aku pikir tidak ada keluarga yang sempurna. Semua orang tua punya kekurangannya masing-masing. Semua orang tua pasti pernah mengucapkan hal-hal tertentu yang kurang lebih sama. Dan setiap ibu pasti bersikap seperti ratu drama. Dengan pasif agresifnya, dengan hiperbolanya, dan dengan respon lainnya yang terlihat seperti drama.

Tentu saja tidak sepenuhnya salah. Mungkin karena hormon selama hamil dan menyusui, mungkin karena kesepian selama menjadi ibu rumah tangga, mungkin karena pusing melakukan hal yang berulang selama puluhan tahun. Entahlah.

Kupikir, aku tidak akan menjadi seperti itu. Kukira, aku tidak akan menjadi ratu drama dan akan jadi orang tua yang lebih asertif.

Tapi ternyata sulit.

Aku melihat kehidupan keluarga suami. Dengan ibu mertua yang tidak pernah inspeksi mendadak dalam rumah, meski jarak rumah kami dan mertua hanya beberapa langkah.

Yang tidak pernah bertanya apa yang kami masak, bagaimana kami menjalani hidup, dan intervensi lainnya. Bahkan diam saja dan tetap makan saat tanpa sengaja aku memasak ayam goreng tepung yang ternyata masih mentah.

Tentu saja intervensi, ingin tahu, dan memberi saran tidak selalu salah. Hanya saja, aku baru tahu ada bentuk sayang seperti itu. Bahwa memberikan ruang bebas pada keluarga baru anaknya juga bisa tetap jadi cara mencintai dan peduli.

Aku tidak tahu apa ibu benar-benar tidak bertanya apapun, atau suamiku yang tidak menyampaikan apapun. Yang mana saja, aku bersyukur.

Aku ingin jadi istri dan ibu yang asertif. Jadi perempuan yang tidak sibuk merajuk dan pasif agresif. Tapi meski sebanyak itu keinginanku, tetap saja aku lepas kendali sesekali. Menangis dan merajuk karena hal kecil.

Aku takut setiap kali suamiku diam dan bilang terserah atau gapapa. Aku bingung apa itu sungguhan tidak masalah, atau dia kesal tapi tidak mau marah di depan umum. Akhirnya aku tidak jadi melakukan apapun itu yang akan kulakukan dan langsung mengajak pulang. Tapi di saat yang sama, aku juga merasa tidak nyaman, takut, sedih, dan tidak puas karena tidak mendapatkan yang kuinginkan.

Lain waktu, aku menjadi sangat manja sampai tidak tepat waktu. Lalu saat diingatkan, aku merasa ditolak dan bersedih. Rasanya seperti tidak disayang meski aku tahu dia tetap menyayangiku.

Atau lain waktu, aku merasa perlu bertanya apakah dia mencintaiku atau tidak. Bahkan tiga kali berturut-turut atau lebih. Dan itu refleks, aku bahkan tidak benar-benar sengaja menanyakannya. Rasanya aku butuh validasi konstan dan berulang kalau dia mencintaiku.

Tentu saja ibuku adalah ibu yang baik. Kecuali micro managing, pasif agresif, dan melodramaticnya, dia tetap ibu yang baik dan supportif. Dia juga tidak anti kritik, ga segan minta maaf, mau belajar, dan berpikiran terbuka. Ada banyak hal baik tentangnya yang membuatku bisa bertahan bahkan di fase paling sulit sekalipun.

Tapi, aku mau jadi ibu yang lebih baik, juga pasangan yang tidak memusingkan. I feel like something wrong with me. Mungkin sudah saatnya aku benar-benar meniatkan diri untuk pergi ke psikolog. Sebelum benar-benar hamil, melahirkan, dan mengasuh anak.

I need to know what's wrong with me.