Sosial media baru akan terus bermunculan, tapi kalau terus dikejar, mau sampai mana?



Beberapa hari belakangan, aku sebenarnya mulai merasa jenuh dan lelah. Mungkin karena screen time yang terlalu tinggi dan (lagi-lagi) ditambah dengan input informasi yang hanya sepotong-potong. Di samping kepala yang penat, sebenarnya ada beberapa dampak negatif lain yang kurasakan sih. Salah satunya adalah mata yang terasa mulai sulit fokus dan bahkan kadang terasa kehilangan "sinar".

Tidak tahu hanya perasaan, faktor usia, atau perbedaan kondisi cahaya saat melihat layar. Sebelumnya, aku tidak terlalu masalah dengan screen timeku yang relatif tinggi. Mungkin karena dulu aku selalu melihat layar di ruangan yang cukup cahaya. Bukan malam hari di kamar setelah lampu dimatikan. Atau mungkin, screen timeku memang meningkat drastis dibandingkan sebelum pandemi.

Maraknya aplikasi Tiktok juga ternyata kurang berdampak baik untukku. Banyaknya informasi yang singkat dan tercampur jadi membuat banyak informasi harus diproses dan diingat. Ya, tidak dinafikan kalau banyak konten bagus juga disana.

Kemudian, beberapa hari terakhir, marak sosial media baru, Clubhouse. Jujur saja, daya tarik utama Clubhouse memang orang-orang di dalamnya. Dipopulerkan oleh sederet CEO dan Influencer, Clubhouse jadi sosial media yang relatif menarik, meskipun secara konsep sangat terbatas. Bahkan terdengar mirip dengan meeting satu arah atau semacam TED Talks. Setidaknya bagiku.

Tapi lagi-lagi, selalu ada sosial media baru setiap waktu. Meski begitu, bukan berarti kita harus memulainya secepat mungkin. Penetrasi sosial media memang cepat sekali, apalagi jika ditambah dengan FOMO (Fear of Missing Out) dan eksklusivitas. Perasaan takut tertinggal dan keinginan menjadi yang paling tahu seringkali membawa kita pada keputusan yang sebenarnya tidak penting-penting amat.

Terakhir, tulisan ini sebenarnya dibuat sebagai pengingat pribadi saja. Kalau perasaan FOMO muncul lagi, mungkin kita perlu bertanya ke diri sendiri: 

"Sebenarnya apa yang dicari?"

Tentu saja pertanyaan ini ga cuma dipakai tentang Clubhouse aja, tapi juga sosial media lainnya dan beragam hal lainnya juga. Bahkan saat mau membeli sesuatu atau membuat sesuatu. Meminimalisir interaksi di media sosial ternyata hampir sama dengan meminimalisir tanggung jawab dan pikiran.

Ketika kemarin aku fokus menyelesaikan naskah perdana, praktis aku ga punya cukup waktu buat cek sosial media. Dan yah, sedikit banyak memang rasa jenuh di kepala agak berkurang. Apalagi ketika ditambah dengan kegiatan baca buku dan program rutin bareng temen. Kepala terasa sedikit lebih ringan.

Sayangnya, ketika sejenak istirahat dan membuka sosial media lagi, entah kenapa perasaan penat itu kembali hadir. Mungkin aku perlu sedikit menjeda lagi. Sampai mendapatkan komposisi yang balance. Karena lepas screen time secara penuh sepertinya masih belum mungkin.