Aku senang pada fakta bahwa saat ini aku memiliki teman bicara. Bahkan untuk hal-hal sederhana. Pembicaraan-pembicaraan itu sedikit banyak membantuku mengenal diriku sendiri. Mengenal ketakutanku dan bagaimana menghadapinya. 


As Long As We Know Its Name

Kemarin, aku membaca sebuah manga. Ada satu kalimat yang menurutku menarik.

Runa Aviena - Senku Dr Stone once we know its name
Senku - Dr. Stone

Dalam hidup dan dalam rasa pun kupikir konsepnya sama. Saat kita menyadari apa yang kita rasakan. Atau memahami dimana ketakutan yang kita rasakan, maka segalanya akan lebih mudah. Menghadapi ketakutan itu akan terasa lebih mudah saat kita tahu apa yang membuat kita takut.

Dalam perjalanannya, menemukan sumber takut memang tidak mudah. Kadang butuh banyak kontemplasi, self talk, bicara dengan orang lain, trial and error, dan mungkin saja membutuhkan waktu bertahun-tahun. Tapi tidak masalah. Selama pada akhirnya kita mampu menghadapinya.


Menghadapi Ketakutanku

Dalam kasusku, aku baru menyadari bahwa aku memiliki ketakutan pada pertemuan formal atau semi formal. Pertemuan yang direncanakan. Baik itu acara pelantikan atau pembubaran organisasi, acara reuni, pertemuan keluarga, dan segalanya. Ada perasaan tertekan yang aneh setiap kali agenda seperti itu muncul.

Aku merasa bahwa pertemuan-pertemuan seperti itu tidak akan berjalan baik. Aku selalu khawatir kalau aku akan merusak suasana, khawatir ditekan, khawatir emosiku tidak bisa terkontrol dengan baik. Dan setiap kali acara semacam itu muncul, badanku menjadi tidak enak. Kadang mual, pusing, sakit perut, dan sakit-sakit lain yang cukup mirip dengan gejala gelisah.

Semakin sulit acara tersebut dihindari, semakin besar tekanan yang aku rasakan dan semakin kacau juga reaksi penolakan tubuh yang aku rasakan. Aku tidak pernah mengatakan hal ini pada siapapun sebelumnya. Kalaupun dikatakan, orang lain pasti merasa bahwa hal seperti ini aneh dan aku jadi terkesan mengada-ngada. Karena itu, aku juga tidak bisa menyelami diriku dan apa yang terjadi denganku lebih dalam.

Tapi, semalam akhirnya aku memberanikan diri untuk bilang kalau aku takut dengan pertemuan keluarga akhir pekan ini. Aku tidak tahu apa yang aku takutkan. Tapi aku merasa tidak nyaman. Bukan pada keluargaku, tapi pada sesuatu yang akupun masih belum tahu pasti. Perasaan itu semakin parah karena aku merasa bersalah karena berpikir untuk menghindar. Seakan-akan aku anak yang tidak baik dan sebagainya.

Setelah menceritakan ketakutan yang aku rasakan dan kemungkinan apa saja yang membuatku merasa takut, perasaan khawatir itu pelan-pelan berkurang. Meski kadang aku sedikit merindukan antidepresanku untuk mengurangi gejala cemas seperti ini, tapi aku harus tetap belajar menghadapinya dengan kemampuanku sendiri kan?

Toh pada akhirnya, pertemuan-pertemuan semacam itu tidak pernah lebih menakutkan dari apa yang aku bayangkan. Toh seringkali, aku tetap menikmati pertemuan-pertemuan itu pada akhirnya.


Belajar Merasa Aman Dari Memahami Rasa Takut

Dari apa yang aku tahu, rasa takut seringkali datang dari ketidaktahuan kita akan sesuatu. Kita tidak tahu apa yang terjadi pada kita dalam suatu kondisi, setelah suatu kondisi.

Kita tidak tahu apa yang akan terjadi pada kita saat bertemu orang asing, karena itu kita takut pada orang asing. Kita tidak tahu bagaimana pendapat orang lain tentang gagasan kita, karena itu kita takut bicara. Kita tidak tahu bagaimana bertahan di dalam air saat kita tenggelam, karena itu kita takut tenggelam. Kita tidak tahu apa yang kita hadapi di masa depan, karena itu hari esok bisa jadi menyeramkan.

Tapi saat kita mempelajari bagaimana menghadapi orang asing, bagaimana belajar menyampaikan gagasan, bagaimana berenang, bagaimana merencanakan masa depan, ketakutan-ketakutan itu akan memudar perlahan. Kemudian yang datang adalah rasa aman.

Jadi kupikir, pada dasarnya semua orang merasa takut akan suatu hal. Dan rasa aman bukanlah sesuatu yang datang dengan serta merta. Selama kita mau, selalu ada jalan dan cara untuk memperluas rasa aman kita. Selalu ada cara bagaimana belajar untuk merasa aman.